SEKILAS MODERNISASI
ADMINISTRASI PERPAJAKAN

"Change is the law of
life, and those who look only to the past or the present are certain to miss
the future." (John Fitzgerald
Kennedy)
Semenjak tahun
2002, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change program) atau reformasi
administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah
pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan
yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi
yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak.
Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk
perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat
bahwa konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa
perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner.
Untuk mewujudkan
itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu dirancang dan
dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang
dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:
§ Struktur organisasi
§ Business
process dan teknologi informasi dan komunikasi
§ Manajemen sumber daya manusia
§ Pelaksanaan good
governance
A.
STRUKTUR ORGANISASI
Untuk melaksanakan perubahan secara lebih efektif dan
efisien, sekaligus mencapai tujuan organisasi yang diinginkan, penyesuaian
struktur organisasi DJP merupakan suatu langkah yang harus dilakukan dan
sifatnya cukup strategis. Lebih jauh lagi, struktur organisasi harus juga diberi
fleksibilitas yang cukup untuk dapat selalu menyesuaikan dengan lingkungan
eksternal yang sangat dinamis, termasuk perkembangan dunia bisnis dan teknologi.
Untuk mengimplementasikan konsep administrasi
perpajakan modern yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan, maka
struktur organisasi DJP perlu diubah, baik di level kantor pusat sebagai
pembuat kebijakan maupun di level kantor operasional sebagai pelaksana
implementasi kebijakan. Sebagai langkah pertama, untuk memudahkan Wajib Pajak,
ke tiga jenis kantor pajak yang ada, yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor Pemeriksaan dan
Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan
demikian Wajib Pajak cukup datang ke satu kantor saja untuk menyelesaikan
seluruh masalah perpajakannya. Struktur berbasis fungsi diterapkan pada KPP
dengan system administrasi modern untuk dapat merealisasikan debirokratisasi
pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis
berdasarkan analisis resiko. Unit vertikal DJP dibedakan berdasarkan segmentasi
Wajib Pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar (LTO
- Large Taxpayers Office), KPP Madya (MTO
- Medium Taxpayers Office), dan KPP Pratama (STO - Small Taxpayers Office).
Dengan pembagian seperti ini, diharapkan strategi dan pendekatan terhadap
wajib pajakpun dapat disesuaikan dengan karakteristik Wajib Pajak yang ditangani,
sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal. Khusus di kantor
operasional, terdapat posisi baru yang disebut Account Representative, yang mempunyai tugas antara lain memberikan
bantuan konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak, memberitahukan peraturan
perpajakan yang baru, dan mengawasi kepatuhan wajib pajak. Untuk lebih
memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak, seluruh penanganan keberatan
dilakukan oleh Kantor Wilayah yang merupakan unit vertikal di atas KPP yang
menerbitkan surat
ketetapan pajak sebagai hasil dari pemeriksaan pajak.
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disesuaikan berdasarkan
fungsi agar sesuai dengan unit vertikal di bawahnya. Ke depannya KP DJP
dirancang sebagai Pusat Analisis dan
Perumusan Kebijakan (Center of Policy Making
and Analysis) atau hanya menjalankan tugas dan pekerjaan yang sifatnya non
operasional. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis yang begitu cepat,
maka dibentuk direktorat transformasi yang bertugas untuk selalu melakukan pemikiran
dan perbaikan di bidang business process,
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, serta penyempurnaan organisasi
dan sumber daya manusia. Untuk itu struktur KP DJP dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu direktorat yang menangani day-to-day
operation (1 sekretariat + 9 direktorat), dan direktorat yang menangani
pengembangan/transformasi (3 direktorat). Untuk memperkuat beberapa fungsi yang
dianggap penting, maka dibentuk beberapa direktorat baru untuk menangani intelijen
dan penyidikan perpajakan, ekstensifikasi perpajakan, dan hubungan masyarakat (public relations), serta beberapa subdirektorat
baru yang menangani penelitian perpajakan, kepatuhan internal, dan transfer pricing.
Mengingat besarnya skala perubahan yang akan dilakukan
dalam program ini dan adanya keterbatasan resources
yang dimiliki, termasuk di antaranya keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan
infrastuktur, maka implementasi program modernisasi pada kantor operasional
pajak harus dilakukan secara bertahap. Sebagai tahap pertama, dibentuk Kantor Wilayah
(Kanwil) dan 2 KPP WP Besar pada bulan Juli 2002 untuk mengadministrasikan 300
Wajib Pajak Badan terbesar di seluruh Indonesia sebagai pilot project. Karena program
modernisasi yang diterapkan pada KPP WP Besar dianggap cukup berhasil, maka
konsep yang kurang lebih sama dicoba untuk diterapkan pada KPP lain secara
bertahap, di mana sampai dengan akhir 2007, 22 Kanwil dan 202 KPP (3 KPP WP
Besar, 28 KPP Madya, dan 171 KPP Pratama) telah berhasil dimodernisasi. Pada
akhir 2006, struktur organisasi KP DJP disempurnakan bersamaan dengan penerapan
sistem administrasi modern. Pada tahun 2008, seluruh kantor di luar Jawa dan Bali akan dimodernisasi dengan dibentuknya 128 KPP
Pratama untuk menggantikan seluruh kantor pajak yang ada di daerah tersebut.
B.
BUSINESS PROCESS dan TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Kunci perbaikan birokrasi
yang berbeli-belit adalah perbaikan business
process, yang mencakup metode,
sistem, dan prosedur kerja. Untuk itu, perbaikan business process merupakan pilar penting program modernisasi DJP, yang
diarahkan pada penerapan full automation dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama untuk pekerjaan yang sifatnya
klerikal. Diharapkan dengan full
automation, akan tercipta suatu business
process yang efisien dan efektif karena administrasi menjadi cepat, mudah,
akurat, dan paperless, sehingga dapat
meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak, baik dari segi kualitas maupun
waktu. Business process dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kontak langsung pegawai DJP dengan
Wajib Pajak untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya KKN. Di samping itu,
fungsi pengawasan internal akan lebih efektif dengan adanya built-in control system, karena siapapun
dapat mengawasi bergulirnya proses administrasi melalui sistem yang ada.
Langkah awal perbaikan business process adalah penulisan dan
dokumentasi Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap kegiatan di
seluruh unit DJP. Sampai dengan akhir tahun 2007, sekitar 1900 SOP di
lingkungan DJP telah berhasil diidentifikasikan, ditulis, dan dijadikan acuan
pelaksanaan tugas dan pekerjaan bagi para pegawai. Selain penulisan SOP,
perbaikan business process dilakukan
antara lain dengan penerapan e-system
dengan dibukanya fasilitas e-filing
(pengiriman SPT secara online melalui internet), e-SPT (penyerahan
SPT dalam media digital), e-payment (fasilitas pembayaran online
untuk PBB), dan e-registration (pendaftaran NPWP secara online
melalui internet). Semua fasilitas tersebut diciptakan guna memudahkan
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Untuk sistem
administrasi internal saat ini terus dilakukan pengembangan dan penyempurnaan
Sistem Informasi DJP (SIDJP). Salah satu fitur penting sistem tersebut adalah case
management dan workflow system yang digunakan untuk administrasi
persuratan, proses pelayanan, serta pengadministrasian account Wajib
Pajak. Sistem informasi manajemen internal seperti Sistem Kepegawaian, Sistem
Informasi Keuangan dan Akuntansi, Sistem Pelaporan, dan Key Performance
Indicator (KPI) juga terus dikembangkan.
Untuk kegiatan law enforcement,
dikembangkan program pemeriksaan berbasis analisis resiko (risk analysis),
sehingga sumber daya yang ada dapat secara efektif melakukan pemeriksaan
berdasarkan skala prioritas dengan membuat segmentasi resiko yang dihadapi. Untuk
menerapkan keadilan bagi seluruh Wajib Pajak dan besarnya potensi yang dapat digali,
maka DJP meluncurkan program penggalian potensi Wajib Pajak non-filer, yaitu
Wajib Pajak yang berhenti mengirimkan SPT. Masih dalam dalam rangka
law enforcement, DJP juga mengembangkan sistem yang dapat menghimpun
berbagai data dari pihak ketiga yang terkait dengan tugas DJP dalam menghimpun
penerimaan negara, yang dinamakan Third Party Data Project. Di samping
itu, guna menjadikan fungsi penagihan lebih efektif dan efisien, saat ini juga
tengah dikembangkan dan dilaksanakan program
Debt Management Project.
C. MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Departemen
Keuangan secara keseluruhan telah meluncurkan program Reformasi Birokrasi sejak
akhir tahun 2006. Fokus program reformasi ini adalah perbaikan sistem dan
manajemen SDM, dan direncanakan perubahan yang dilakukan sifatnya lebih
menyeluruh. Hal ini perlu dan mendesak untuk dilakukan,
karena disadari bahwa elemen yang terpenting dari suatu sistem organisasi
adalah manusianya. Secanggih apapun struktur, sistem, teknologi informasi,
metode dan alur kerja suatu organisasi, semua itu tidak akan dapat berjalan
dengan optimal tanpa didukung SDM yang capable dan berintegritas. Harus
disadari bahwa yang perlu dan harus diperbaiki sebenarnya adalah sistem dan
manajemen SDM, bukan semata-mata melakukan rasionalisasi pegawai, karena sistem
yang baik dan terbuka dipercaya akan bisa menghasilkan SDM yang berkualitas.
Diharapkan ke depannya DJP dengan system administrasi perpajakan modern akan
dapat didukung oleh sistem SDM yang berbasis kompetensi dan kinerja.
Sebelum
melakukan langkah perbaikan di bidang SDM, DJP melakukan pemetaan kompetensi (Competency
Mapping) untuk seluruh 30.000 pegawai DJP guna mengetahui sebaran kuantitas
dan kualitas kompetensi pegawai. Meskipun program mapping ini masih
terbatas mengidentifikasikan ‘soft’ competency saja, tetapi informasi
yang didapat cukup membantu DJP dalam merumuskan kebijakan kepegawaian yang
lebih fair. Kemudian seluruh jabatan harus dievaluasi dan dianalisis
untuk selanjutnya ditentukan job grade dari masing-masing jabatan
tersebut. Selanjutnya beban kerja dari masing-masing jabatan tersebutpun
dianalisis yang kemudian dikaitkan juga dengan pengembangan sistem pengukuran
kinerja masing-masing pegawai. Sebagai catatan, pembuatan dan dokumentasi SOP
untuk seluruh proses pekerjaan dapat dimanfaatkan juga sebagai standar
penilaian kinerja. Secara bersamaan dilakukan penilaian terhadap seluruh
pegawai secara lebih obyektif dan konsisten sekaligus standar kompetensi
jabatannya melalui proyek assessment center. Selisih (gap) antara
hasil penilaian pegawai dengan standar kompetensi jabatan yang didudukinya dijadikan
dasar perancangan program capacity building (termasuk pendidikan dan
pelatihan) yang lebih fokus dan terarah. Saat ini, DJP sedang mengembangkan
berbagai program pelatihan melalui metode Adult Learning Principles.
Semua
itu nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat sistem jenjang karir, khususnya
sistem mutasi dan promosi, serta sistem remunerasi yang lebih jelas, adil, dan
akuntabel. Dengan sistem dan manajemen SDM yang lebih baik dan terbuka akan
dapat menghasilkan SDM yang juga lebih baik, khususnya dalam hal produktivitas
dan profesionalisme. Dapat dilihat bahwa perbaikan remunerasi hanyalah salah
satu bagian akhir dari program reformasi birokrasi yang sebelumnya didahului
dengan perbaikan di berbagai bidang yang dapat meningkatkan efektivitas dan
akuntabilitas sistem manajemen sumber daya manusia.
Mengingat
strategis dan besarnya skala perbaikan sistem dan manajemen SDM, maka dirasa
perlu untuk membentuk suatu unit khusus dengan level eselon III di KP DJP untuk
menangani pengembangan sistem manajemen SDM, pengembangan kapasitas serta pengukuran
kinerja, di samping Bagian Kepegawaian yang memang mempunyai tugas melakukan
pembuatan kebijakan dan implementasi di bidang kepegawaian. Diharapkan, dengan makin
transparan dan fairnya sistem mutasi, promosi, dan remunerasi, DJP dapat
menerapkan kebijakan “right man in the right place”, di mana seorang
pegawai dapat menempati suatu jabatan yang tepat sesuai dengan keahliannya, dan
sebaliknya suatu jabatan diisi oleh pegawai yang tepat sesuai dengan standar
kompetensinya.
D. PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE
Elemen terakhir adalah
pelaksanaan good governance, yang seringkali dihubungkan dengan
integritas pegawai dan institusi. Suatu organisasi berikut sistemnya akan
berjalan dengan baik manakala terdapat rambu-rambu yang jelas untuk memandu
pelaksanaan tugas dan pekerjaannya, serta yang lebih penting lagi, konsistensi
implementasi rambu-rambu tersebut. Dalam praktek berorganisasi, good
governance biasanya dikaitkan dengan mekanisme pengawasan internal (internal
control) yang bertujuan untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan ataupun
penyelewengan dalam organisasi, baik itu dilakukan oleh pegawai maupun pihak
lainnya, baik disengaja maupun tidak.
DJP dengan program
modernisasinya senantiasa berupaya menerapkan prinsip-prinsip good
governance tersebut. Salah satunya adalah dengan cara pembuatan dan
penegakan Kode Etik Pegawai yang secara tegas mencantumkan kewajiban dan
larangan bagi para pegawai DJP dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk
sanksi-sanksi bagi setiap pelanggaran Kode Etik Pegawai tersebut. Selain itu pemerintah
telah menyediakan berbagai saluran pengaduan yang sifatnya independen untuk
menangani pelanggaran atau penyelewengan di bidang perpajakan, seperti Komisi
Ombudsman Nasional. Dalam lingkup internal DJP sendiri, telah dibentuk dua
Subdirektorat yang khusus menangani pengawasan internal di bawah Direktorat
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur, yaitu Subdirektorat
Kepatuhan Internal yang sifatnya lebih ke pencegahan (preventif) dan
Subdirektorat Investigasi Internal yang sifatnya lebih ke pengusutan dan penghukuman
(reaktif). Lebih jauh lagi, pembentukan complaint center di
masing-masing Kanwil modern untuk menampung keluhan Wajib Pajak merupakan bukti
komitmen DJP untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajaknya
sekaligus pengawasan bagi internal DJP.
Sebenarnya good
governance tidak hanya terbatas pada masalah integritas, tetapi juga
menyangkut efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme dan akuntabilitas organisasi.
Salah satu contoh konkritnya adalah penerapan manajemen organisasi modern melalui
pembuatan dan penerapan siklus perencanaan, implementasi, dan evaluasi, yang
disertai alat ukur yang jelas untuk menilai keberhasilan program tersebut. Alat
ukur tersebut dapat berupa Key Peformance Indicators (KPI) untuk
aktivitas rutin organisasi, atau Policy Measures untuk kebijakan baru. Dalam
ilmu manajemen dikenal ungkapan “what gets measured, gets managed”.
Sejak tahun 2005, DJP telah mencoba menetapkan beberapa KPI untuk mengukur
kinerja kantor operasionalnya selain variabel penerimaan perpajakan yang biasa
dipakai. Untuk tahun 2008, DJP telah menyusun strategic plan organisasi yang
lebih komprehensif dengan memakai konsep balanced score card.
Sebagai bagian dari
evaluasi kinerja, kantor pajak modern selalu mengadakan survey kepuasan WP
setiap tahunnya, dengan hasil yang sangat positif. Akan tetapi sebagian
masyarakat maupun stakeholders meragukan hasil survey internal dengan
alasan bias, kurang obyektif, adanya unsur ketakutan responden, dsb. Untuk itu
sejak tahun 2005, DJP mencoba mengadakan survey yang lebih obyektif dengan
menggunakan lembaga survey independen, yaitu AC Nielsen, dan tidak dibiayai
oleh DJP, melainkan disponsori oleh AusAID. Metode Survey Persepsi Kepuasan
Wajib Pajak yang digunakan adalah pengisian kuesioner melalui 2 tahap, yaitu
tahap kualitatif dan kuantitatif, yang kemudian hasilnya dikonversikan menjadi
suatu nilai yang disebut EQ Index. Survey telah dilakukan untuk WP di
lingkungan Kanwil WP Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus yang mengadministrasikan
perusahaan PMA, Perusahaan Go Public, Badan dan Orang Asing, serta BUMN
(ketika survey dilakukan KPP BUMN masih berada di bawah Kanwil ini), KPP Madya di
Batam dan Jakarta Pusat, serta KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Jakarta
Pusat.
Survey kepuasan untuk Kanwil Khusus telah dilakukan pada tahun 2006 oleh
AC Nielsen memakai metode kualitatif dengan hasil yang juga sangat memuaskan
Contoh hasil survey atas
Kepuasan Wajib Pajak KPP PW Besar tahun 2005:
E. MANFAAT MODERNISASI BAGI WAJIB PAJAK
Secara singkat, program modernisasi
diharapkan dapat memberi manfaat bagi Wajib Pajak sebagai berikut :
§ Pelayanan yang lebih baik, terpadu, dan personal,
melalui:
o Konsep One Stop Service yang melayani seluruh
jenis pajak (PPh, PPN, PBB & BPHTB)
o Adanya tenaga Account Representative (AR)
dengan tugas antara lain :
-
konsultasi untuk
membantu segala permasalahan WP
-
mengingatkan WP
atas pemenuhan kewajiban perpajakannya
-
update atas peraturan perpajakan yang terbaru
o Pemanfaatan IT secara maksimal: email, e-SPT,
e-filing, dll
o SDM yang profesional
-
adanya fit and
proper test dan competency
mapping
-
pelaksanaan kode
etik yang tegas dan konsisten
-
pemberian
tunjangan khusus (peningkatan remunerasi)
o Pemeriksaan yang lebih terbuka dan profesional dengan
konsep spesialisasi
- Penerapan dan penegakan GOOD GOVERNANCE di semua lini
1 komentar:
alhmdulillah kalo bs bermamfaat buat agan :)
perkenalkan juga saya mahasiswa STAN jakarta
:)
twitter : @jokoprasetyo92
fb : jokoprasetyo573@gmail.com
Posting Komentar