UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
NOMOR 28 TAHUN 2007
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN
1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan
keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih
memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang
teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan
material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3984);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah
dengan Undang-Undang:
a.
Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3566);
b.
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3984),
diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
3.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.
6.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
ini.
8.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
9.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka
waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10.
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus
dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian
Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
12.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
14.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15.
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
17.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
18.
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
19.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak
lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
22.
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak
yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang
dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
23.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah
dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
24.
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan
oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk
memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
25.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
26.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan,
dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan
petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana
di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara.
27.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
28.
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
29.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut.
30.
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.
31.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32.
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan
yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang
terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga.
34.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat
keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
35.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan
pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
36.
Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan
pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37.
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan
Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib
Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan
Gugatan dari badan peradilan pajak.
38.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk
Wajib Pajak tertentu.
39.
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40.
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos
pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung
adalah tanggal pada saat surat,
keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
41.
Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos
pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah
tanggal pada saat surat,
keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
2.
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan:
|
a.
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha
selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
b.
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
|
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum
diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
|
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan
pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
|
c.
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak
memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
d.
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau
penggabungan usaha;
e.
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan
usahanya di Indonesia;
atau
f.
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak
memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas)
bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara
lengkap.
|
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
3.
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender
atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling
lama 3 (tiga) bulan kalender.
4.
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 3
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin,
angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya
ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(1a)
|
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1b)
|
Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau
digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil
sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan adalah:
|
.
untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
a.
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun
Pajak; atau
b.
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
|
|
(3a)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
|
(3b)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(3c)
|
Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak
yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(5)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan
penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan
Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(5a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat
diterbitkan Surat Teguran.
|
(6)
|
Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen
yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(7)
|
Surat Pemberitahuan dianggap
tidak disampaikan apabila:
|
c.
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
d.
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri
keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
e.
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar
disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis;
atau
f.
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur
Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
|
|
(7a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada
Wajib Pajak.
|
(8)
|
Dikecualikan dari kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan
tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
5.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1)
|
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan
benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus
atau direksi.
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus
tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
|
(4)
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
|
(4a)
|
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan
keuangan dari masing-masing Wajib Pajak.
|
(4b)
|
Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit
oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat
Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (7) huruf b.
|
(5)
|
Tata cara penerimaan dan
pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
6.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 6
(1)
|
Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang
ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan
tanda bukti pengiriman surat
atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(3)
|
Tanda bukti dan tanggal
pengiriman surat
untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat
Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
|
7.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 7
(1)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan
penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi.
|
(2)
|
Pengenaan sanksi administrasi
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
|
.
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
a.
Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
b.
Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai
warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
c.
Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi
di Indonesia;
d.
Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha
lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e.
Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
f.
Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
g.
Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
8.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 8
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
|
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal
Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri
dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya,
yang dapat mengakibatkan:
|
.
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
besar atau lebih kecil;
a.
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih
kecil atau lebih besar;
b.
jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil;
atau
c.
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
|
|
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak
sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
|
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan
Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.
|
9.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 9
(1)
|
Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis
pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak.
|
(2)
|
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan
Pajak Penghasilan disampaikan.
|
(2a)
|
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(2b)
|
Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
(3a)
|
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka
waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling
lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atas
permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
10.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 10
(1)
|
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1a)
|
Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai
bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pembayaran, penyetoran
pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran
pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
11.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 11
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan,
dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(1a)
|
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan
ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau
sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
|
(3)
|
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka
waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai
dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.
|
(4)
|
Tata cara penghitungan dan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
12.
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 12
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
|
(2)
|
Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(3)
|
Apabila Direktur Jenderal Pajak
mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan jumlah pajak yang terutang.
|
13.
Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu)
ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1)
|
Dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
|
.
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
a.
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
b.
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
c.
apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak
yang terutang; atau
d.
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
|
|
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
|
(3)
|
Jumlah pajak dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar:
|
e.
50% (lima
puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
satu Tahun Pajak;
f.
100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang
tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang
disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
g.
100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang
dibayar.
|
|
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam
Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak
diterbitkan surat ketetapan pajak.
|
(5)
|
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak
setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
14.
Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak
dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh
Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan
melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
15.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 14
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
|
.
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar;
a.
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
b.
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
dan/atau bunga;
c.
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak,
tetapi tidak tepat waktu;
d.
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya, selain:
1. identitas
pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas
pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
pedagang eceran;
e.
Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak
sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
f.
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah
diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
|
(2)
|
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan surat
ketetapan pajak.
|
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
|
(4)
|
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor
pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua
persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
(5)
|
Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal
penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat
Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
16.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 15
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
|
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam
rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
|
(4)
|
Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam
hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
(5)
|
Tata cara penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
17.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal
Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
|
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat,
tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
(4)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai
hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
18.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
|
(2)
|
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah
meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau
data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada
kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
|
19.
Ketentuan Pasal 17A diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17A
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
|
(2)
|
Tata cara penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
20.
Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17B
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan
surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap.
|
(1a)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana
di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu tersebut berakhir.
|
(3)
|
Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
|
(4)
|
Apabila pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan,
tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana
di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
21.
Ketentuan Pasal 17C diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17C
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
|
(2)
|
Kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
.
tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
a.
tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis
pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak;
b.
Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau
lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
c.
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
|
|
(3)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
|
(5)
|
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
|
(6)
|
Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak apabila:
|
d.
terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
e.
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk
suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
f.
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk
suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender;
atau
g.
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
|
|
(7)
|
Tata cara penetapan Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
22.
Di antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 17D dan Pasal 17E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17D
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak adalah:
|
.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
a.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu;
b.
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan
jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
c.
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan
jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
|
|
(3)
|
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih
bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
|
(5)
|
Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
|
Pasal 17E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam
negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang
tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
23.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 18
(1)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak.
|
(2)
|
Dihapus.
|
24.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1)
|
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo
pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai
dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata
penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan
pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan
huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
25.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
(1)
|
Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus
dilakukan apabila:
|
.
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
a.
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki
atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
b.
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan
membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan
bentuk lainnya;
c.
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
d.
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh
pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
|
(3)
|
Penagihan pajak dengan Surat
Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
26.
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 21
(1)
|
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang
milik Penanggung Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan pajak.
|
(3)
|
Hak mendahulu untuk utang pajak
melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
|
.
biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak
bergerak;
a.
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
barang dimaksud; dan/atau
b.
biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan
dan penyelesaian suatu warisan.
|
|
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka
kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum
menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
|
(4)
|
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
|
(5)
|
Perhitungan jangka waktu hak
mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
|
c.
dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan
secara resmi maka jangka waktu 5 (lima)
tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat
Paksa; atau
d.
dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau
persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas
akhir penundaan diberikan.
|
27.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 22
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan,
dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali.
|
(2)
|
Daluwarsa penagihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
.
diterbitkan Surat Paksa;
a.
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik
langsung maupun tidak langsung;
b.
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
c.
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
28.
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 23
(1)
|
Dihapus.
|
(2)
|
Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap:
|
.
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
a.
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
b.
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
c.
penerbitan surat
ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak
sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
|
|
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
|
|
(3)
|
Dihapus.
|
29.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan
besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
30.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 25
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
.
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
a.
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
b.
Surat
Ketetapan Pajak Nihil;
c.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
d.
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai
alasan yang menjadi dasar penghitungan.
|
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan
di luar kekuasaannya.
|
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
|
(4)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
|
(5)
|
Tanda penerimaan surat keberatan yang
diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima
surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
(6)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau
pemungutan pajak.
|
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
(8)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
(9)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
(10)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
|
31.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
|
(2)
|
Sebelum surat
keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
|
(3)
|
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa
mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
|
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak
yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak
tersebut.
|
(5)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
|
32.
Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak
untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai
keberatannya.
|
(3)
|
Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
|
(4)
|
Wajib Pajak yang mengungkapkan
pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses
keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan
informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak
ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud
tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
|
33.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 27
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1).
|
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
|
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan
sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat
Keputusan Keberatan tersebut.
|
(4)
|
Dihapus.
|
(4a)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
|
(5)
|
Dihapus.
|
(5a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat
(7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.
|
(5b)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
(5c)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
|
(5d)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
(6)
|
Badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan
undang-undang.
|
34.
Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 27A
(1)
|
Apabila pengajuan keberatan,
permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan
pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:
|
.
untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
a.
untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali.
|
|
(1a)
|
Imbalan bunga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
|
b.
untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
c.
untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
atau
d.
untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas
pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan
sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
|
(3)
|
Tata cara penghitungan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
35.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 28
(1)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dan Wajib Pajak badan di Indonesia
wajib menyelenggarakan pembukuan.
|
(2)
|
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
|
(3)
|
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(5)
|
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas.
|
(6)
|
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
|
(7)
|
Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
|
(8)
|
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
|
(9)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
|
(10)
|
Dihapus.
|
(11)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama
10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal
Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
|
(12)
|
Bentuk dan tata cara pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
36.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 29
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda
pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
|
(3)
|
Wajib Pajak yang diperiksa
wajib:
|
.
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak;
a.
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
b.
memberikan keterangan lain yang diperlukan.
|
|
(3a)
|
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling
lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
|
(3b)
|
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan
kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(4)
|
Apabila dalam mengungkapkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib
Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban
untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
37.
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan
pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar
modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan
yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian
yang:
.
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak
menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau
a.
terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis
risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan
Kantor.
38.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 30
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib
Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf b.
|
(2)
|
Tata cara penyegelan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
39.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
(1)
|
Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya
mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban
menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan
hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam
batas waktu yang ditentukan.
|
(3)
|
Apabila dalam pelaksanaan
pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan
secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas
waktu yang ditentukan.
|
40.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 32
(1)
|
Dalam menjalankan hak dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
Wajib Pajak diwakili dalam hal:
|
.
badan oleh pengurus;
a.
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
b.
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang
ditugasi untuk melakukan pemberesan;
c.
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
d.
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang
ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
atau
e.
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan oleh wali atau pengampunya.
|
|
(2)
|
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi
dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila
dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas
pajak yang terutang tersebut.
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(3a)
|
Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(4)
|
Termasuk dalam pengertian
pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang
nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
|
41.
Ketentuan Pasal 33 dihapus.
Pasal 33
Dihapus.
42.
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 34
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga
ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2a)
|
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
.
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi
atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
a.
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri
Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau
instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan negara.
|
|
(3)
|
Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin
tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang
ditunjuk.
|
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum
Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan
Wajib Pajak yang ada padanya.
|
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat,
keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
43.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 35
(1)
|
Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak,
penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas
permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib
memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
|
(2)
|
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh
kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan
tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan
atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tata cara permintaan keterangan
atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
44.
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1)
|
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib
memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada
Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2).
|
(2)
|
Dalam hal data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak
berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
|
45.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 36
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
|
.
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
a.
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
b.
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
c.
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak
dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian
surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
|
|
(1a)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
|
(1b)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat
diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
|
(1c)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus
memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
|
(1d)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat
tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
|
(1e)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1c).
|
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan ayat (1),
ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
46.
Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 36A
(1)
|
Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung
atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(2)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di
luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang
berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti
melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
(3)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan
dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara
melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
|
(4)
|
Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara
melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
|
(5)
|
Pegawai pajak tidak dapat
dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan
tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
47.
Di antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3
(tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36B
(1)
|
Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat
Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai
Direktorat Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik
pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Pasal 36C
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas
perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 36D
(1)
|
Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian
kinerja tertentu.
|
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
(3)
|
Tata cara pemberian dan
pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
48.
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
(1)
|
Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang
masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat
diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang
secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan
penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar
untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak
dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang
menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar
atau menyatakan lebih bayar.
|
49.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
.
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
a.
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit
1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau
dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu)
tahun.
50.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 39
(1)
|
Setiap orang yang dengan
sengaja:
|
.
tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
a.
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
b.
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
c.
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
d.
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
e.
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya;
f.
tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
g.
tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
h.
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut.
|
|
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|
(2)
|
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak
pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
|
(3)
|
Setiap orang yang melakukan
percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi
atau pengkreditan yang dilakukan.
|
51.
Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
.
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
a.
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah
pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak.
52.
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 41
(1)
|
Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
|
53.
Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan
atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan
sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti
yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
54.
Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau
mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima
juta rupiah).
55.
Di antara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41C
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
|
(2)
|
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya
kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
(3)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi
yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan
atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
(4)
|
Setiap orang yang dengan sengaja
menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian
kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
|
56.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 43
(1)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku
juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
57.
Sebelum Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan
pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang
menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi
unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan
pemeriksaan bukti permulaan.
|
(3)
|
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi,
pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut
ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
|
(4)
|
Tata cara pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
58.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 44
(1)
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
(2)
|
Wewenang penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
.
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
b.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c.
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d.
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut;
e.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
f.
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
g.
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
h.
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
i.
menghentikan penyidikan; dan/atau
j.
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
|
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan
kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat
meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
59.
Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 44B
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
|
(2)
|
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang
pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan
dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan.
|
Pasal II
1.
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun
Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan
ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
2.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun
Pajak 2013.
3.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
pada tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2007 NOMOR 85
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
I. UMUM
1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya
tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat
ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi
undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak yang
bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya.
2. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi,
sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan
untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak,
meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di
bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang
perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi
perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
3. Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan
Undang-Undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan
tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban
bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum,
keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok
sebagai berikut:
a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka
mendukung penerimaan negara;
b. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan
tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat
serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
e. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
f. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara
akuntabel dan konsisten;dan
g. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan
kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring
dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajaka
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Seiain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Angka 3
Pasal 2A
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajaka
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Seiain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Angka 3
Pasal 2A
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu)
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. penghasiian yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek
pajak;
c. harta dan kewajiban; dan/atau
d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa
Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan,
dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan
objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap,
dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal
25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak
yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan
sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut
pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk
masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang
bersangkutan.
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal PaJak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara denganmenyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebin bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Cukup Jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal PaJak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara denganmenyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebin bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Angka 7
Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angka 8
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah Jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Angka 7
Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angka 8
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah Jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jeiasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jeiasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp 200.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar
|
Rp 150.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar |
Rp 50.000.000,00 |
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 70.000.000,00 Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp 200.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 |
Rp 70.000.000.00
(-)
|
Penghasilan Kena Pajak |
Rp 130.000.000,00
|
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp 300.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 2007 sebesar |
Rp 200.000.000.00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak sebesar |
Rp 100.000.000,00
|
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto
|
Rp 300.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 |
Rp 250.000.000.00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak |
Rp 50.000.000,00
|
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 250.000.000,00).
Angka 9
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008. Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:
1 x2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Angka 10
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Angka 11
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008. Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:
1 x2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Angka 10
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Angka 11
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasai 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis
tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak
tanggal penerbitan;
d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan
Banding oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang melaksanakan
putusan pengadilan; atau
f. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya
Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang
melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau
oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut,
atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2),
oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10
ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pembehtahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Angka 13
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoieh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus person).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pembehtahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Angka 13
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoieh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus person).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap
sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas;
2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka
dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang
diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di
suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah
tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1.
|
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 100.000.000,00
|
2.
|
Pajak yang terutang
(30% x Rp100.000.000,00) |
Rp 30.000.000,00
|
3.
|
Kredit pajak
|
Rp 10.000.000.00
(-)
|
4. |
Pajak yang kurang dibayar |
Rp 20.000.000,00 |
5.
|
Bunga 24 bulan
(24 x 2% x Rp 20.000.000,00) |
Rp
9.600.000,00 (+)
|
6.
|
Jumlah pajak yang masih
harus dibayar |
Rp
29.600.000,00
|
Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (5)
Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadiian tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai pajak.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 13A
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Angka 15
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnyadengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar; atau
b. penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang
dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah hitung.
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai
berikut:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp
100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15 Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan
penghitungan sebagai berikut :
-
|
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni
2008
(Rp100.000.000,00-Rp 40.000.000,00) |
= Rp 60.000.000,00
|
-
|
Bunga = 3 x 2% x Rp 60.000.000,00
|
= Rp
3.600.000,00 (+)
|
-
|
Jumlah yang harus dibayar
|
= Rp 63.600.000,00
|
2. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian
ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar
sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan
Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai
berikut:
-
|
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
|
= Rp1.000.000,00
|
-
|
Bunga = 3 x 2%x Rp1.000.000,00
|
= Rp
60.000.00 (+)
|
-
|
Jumlah yang harus dibayar
|
= Rp 1.060.000,00
|
Ayat (4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis
adanya biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut
terdiri atas Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00
sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa
sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut
tergolong data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan
pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta
pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta
yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok
3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan
pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui
adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar,
maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari
Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya,
seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh
faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena
Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahanmengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan WajibPajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;
f. Surat Keputusan Keberatan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas
pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa
nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis
pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari
penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan;
atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif,
kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan
dalam pengkreditan pajak.
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara
lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat
kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung
dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan
setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib
Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan
pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama
dengan jumlah paJak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran
dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang
dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan
tidak ada pembayaran pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak mefakukan konfirmasi kebenaran kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
-
|
Wajib Pajak telah memperoleh
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 80.000.000,00.
|
|||||||||
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh
hasil sebagai berikut:
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
-
|
Pajak Penghasilan yang terutang sebesar
|
Rp 100.000.000,00
|
-
|
Kredit Pajak:
|
|
|
- Pajak Penghasilan Pasal 22
|
Rp 20.000.000,00
|
|
- Pajak Penghasilan Pasal 23
|
Rp 40.000.000,00
|
|
- Pajak Penghasilan Pasal 25
|
Rp 90.000.000.00
(+)
|
|
|
Rp 150.000.000,00
|
-
|
Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
|
Rp 80.000.000.00
(-)
|
-
|
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan
|
Rp 70.000.000.00 (-) |
-
|
Pajak yang tidak/kurang dibayar
|
Rp 30.000.000,00
|
|
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
|
Rp 30.000.000.00
(+)
|
|
Jumlah yang masih harus dibayar
|
Rp 60.000.000,00
|
2) Pajak Pertambahan Nilai
-
|
Pengusaha Kena Pajak telah
memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00.
|
|||||||||
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh
hasil sebagai berikut:
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
-
|
Pajak Keluaran
|
Rp 100.000.000,00
|
-
|
Kredit Pajak:
|
|
|
- Pajak Masukan
|
Rp 150.000.000,00
|
|
- Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
|
Rp 60.000.000.00
(+)
|
-
|
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan
|
Rp 90.000.000.00
(-)
|
-
|
Pajak yang kurang dibayar
|
Rp
10.000.000,00
|
-
|
Sanksi administrasi kenaikan 100%
|
Rp 10.000.000.00
(+)
|
-
|
Jumlah yang masih harus dibayar
|
Rp 20.000.000,00
|
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 17D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Pasal 17E
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Angka 24
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saatjatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal
7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah
pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal
1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai
berikut:
Pajak yang masih harus dibayar
|
= Rp 10.000.000,00
|
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan
|
= Rp
6.000.000.00 (-)
|
Kurang dibayar
|
= Rp
4.000.000,00
|
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp4.000.000,00) |
=
Rp 80.000,00
|
b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada
tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar
|
= Rp
10.000.000.00
|
Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan
|
= Rp
10.000.000.00
|
Kurang dibayar
|
=
Rp
0,00
|
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) |
= Rp
200.000,00
|
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan
batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut
diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu
5 (lima) bulan
dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi administrasi
berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1
|
:
|
2% x Rp1.120.000.00
|
= Rp 22.400,00.
|
angsuran ke-2
|
:
|
2% x Rp 896.000.00
|
= Rp 17.920,00.
|
angsuran ke-3
|
:
|
2% x Rp 672.000,00
|
= Rp 13.440,00.
|
angsuran ke-4
|
:
|
2% x Rp 448.000.00
|
= Rp 8.960.00.
|
angsuran ke-5
|
:
|
2% x Rp 224.000,00
|
= Rp 4.480,00.
|
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan
untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.Sanksi
administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jeias.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat
Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa
penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara
mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan
pajak dihitung sejak tanggal surat
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur
Jenderal Pajak.
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib
Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan
tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu,
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. erhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan
Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Angka 28
Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Angka 29
Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka 30
Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak,penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000.00)=Rp250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jetas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Angka 29
Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka 30
Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak,penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000.00)=Rp250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jetas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan
dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui
pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan
kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1)
|
Penghitungan jumlah penjualan
dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun
yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan
seluruh pembeiian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam memperoleh harta yang
dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang
dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian stelsel kas harus
dilakukan secara taat asas (konsisten).
|
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimuiainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan "garis lurus atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur jenderai Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
Ayat (7)
Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasai 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup jeias.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatanusaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasitan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
dan/atau
b. tujuan lain dalam rangka mslaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor)
atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau
seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun
berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan torhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
Pemeriksaan dapat dilakukan torhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan
Nilai;
i. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas
perpajakan; dan/atau
k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
b. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai
dengan aslinya;
c. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
d. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Keterangan lisan misalnya:
a. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
b. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
c. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang
bersifat khusus.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka 37
Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk mernperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan daiam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi kornisaris dan pernegang saham mayoritas atau pengendali.
Angka 41
Pasal 33
Dihapus.
Angka 42
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka 37
Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk mernperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan daiam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi kornisaris dan pernegang saham mayoritas atau pengendali.
Angka 41
Pasal 33
Dihapus.
Angka 42
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang
bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias Wajib Pajak meiiputi:
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias Wajib Pajak meiiputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meiiputi:
a. penerimaan pajak secara nasional;
b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
c. penerimaan pajak perjenis pajak;
d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
e. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
f. register permohonan Wajib Pajak;
g. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
h. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 43
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
Angka 45
Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Cukup jelas.
Ayat (1e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Angka 46
Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jetas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Angka 47
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36C
Cukup jelas.
Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
Angka 50
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Angka 51
Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oeh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Angka 52
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpa).
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak meiakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Angka 53
Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Angka 54
Pasal 41B
Seseorang yang meiakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Angka 55
Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup Jeias.
Ayat (2)
Cukup jelas,
Ayat (3)
Cukup jetas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Angka 56
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena mefakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 57
Pasal 43 A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 43
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
Angka 45
Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Cukup jelas.
Ayat (1e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Angka 46
Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jetas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Angka 47
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36C
Cukup jelas.
Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
Angka 50
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Angka 51
Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oeh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Angka 52
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpa).
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak meiakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Angka 53
Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Angka 54
Pasal 41B
Seseorang yang meiakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Angka 55
Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup Jeias.
Ayat (2)
Cukup jelas,
Ayat (3)
Cukup jetas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Angka 56
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena mefakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 57
Pasal 43 A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
1 komentar:
alhmdulillah kalo bs bermamfaat buat agan :)
perkenalkan juga saya mahasiswa STAN jakarta
:)
twitter : @jokoprasetyo92
fb : jokoprasetyo573@gmail.com
Posting Komentar