seorang pegawai Ditjen Pajak di Jakarta dimutasikan dari
Bagian Pemeriksaan ke Bagian Tata Usaha. Alasan utamanya karena dia sering kali
tidak mau “berkompromi” atas hasil pemeriksaannya.
Pegawai tersebut adalah seorang Akuntan lulusan DIII STAN dan
S1 Universitas Indonesia dengan predikat Cum Laude. Satu bulan kemudian dia
mundur dari pegawai negeri sipil (PNS) untuk selanjutnya bekerja di salah satu
perusahaan multinasional terkemuka.
Merebaknya Kasus Gayus Tambunan ditanggapi oleh sebagian
politisi DPR dan pengamat dengan usulan pencabutan renumerasi Kementerian
Keuangan (Kemenkeu). Khususnya Ditjen Pajak. Hal ini karena renumerasi dinilai
tidak efektif mencegah korupsi.
Kegeraman masyarakat terhadap markus pajak yang disuarakan
oleh politisi DPR tersebut adalah hal yang dapat dipahami. Namun demikian
apakah pencabutan renumerasi Kemenkeu yang merupakan salah satu elemen dalam
reformasi birokrasi merupakan solusi yang tepat atau sekedar usulan emosional
belaka?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada dua aspek yang perlu
diperhatikan yaitu efektivitas Program Reformasi Birokrasi dilihat dari sisi
peningkatan pelayanan kepada publik, serta dari sisi peningkatan penerimaan
Negara.
Peningkatan Pelayanan Publik
Mengutip pernyataan Menteri Keuangan upaya reformasi yang dilakukan oleh
Kemenkeu seolah dikerdilkan apabila hanya dikaitkan dengan pemberian
remunerasi. Padahal inti dari program reformasi birokrasi adalah memberikan
pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatkannya secara terus
menerus. Reformasi yang dirintis sejak akhir tahun 2002, melalui penataan
organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya
manusia, secara obyektif sudah menunjukkan hasil.
Penelitian Universitas Indonesia pada akhir 2007 menunjukkan
bahwa mayoritas responden (63,6%) menyatakan puas atas pelayanan Kemenkeu
setelah dilaksanakannya program Reformasi Birokrasi. Survey AC Nielsen (2005),
menunjukkan bahwa indeks kepuasan konsumen (IQ Index) di Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Wajib Pajak Besar yang sangat tinggi, yaitu sebesar 81, lebih besar
dari rata-rata tingkat kepuasan pelayanan publik secara nasional sebesar 75.
Konsultan Hay Group yang juga meneliti tingkat kepuasan publik
terhadap kinerja pelayanan Kemenkeu, dengan fokus pada Kantor Pelayanan Utama
Bea Cukai di Tanjung Priok dan Batam, ternyata memperoleh hasil senada dengan
penelitian UI dan AC Nielsen.
Peningkatan Penerimaan Negara
Berdasarkan Keppres No 15 Tahun 1971, tujuan pemberian Tunjangan Khusus
Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) kepada Pegawai Departemen Keuangan antara
lain untuk peningkatan dan pengamanan penerimaan dan pengeluaran negara, serta
usaha preventif untuk menekan terjadinya penyimpangan.
Dilihat dari sisi penerimaan pajak, dari tahun 2004 hingga
2008, realisasi penerimaan pajak melonjak lebih dua kali lipatnya, yaitu dari
Rp 238,98 triliun menjadi sebesar Rp 571,2 triliun. Dibandingkan dengan total
anggaran renumerasi Kementerian Keuangan sekitar Rp 5 triliun per tahun, hasil
tersebut cukup sepadan.
Data ini juga menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi
birokrasi berhasil meningkatkan penerimaan negara. Saat ini, sekitar 70%
pendapatan negara dalam APBN berasal dari penerimaan pajak.
Selain itu, reformasi birokrasi telah memberikan kontribusi
positif pada upaya pemberantasan korupsi di Indoneisa. Survei Transparency
International (2009) mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia
memperoleh skor 2.8 berada di urutan 111 diantara 180 negara.
Nilai IPK Indonesia meningkat dibanding nilai 3 tahun
terakhir. Dari 1,9 pada 2003, menjadi 2,0 pada tahun 2004 dan naik menjadi 2,2
pada tahun 2005. Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW)
menyatakan bahwa kontributor utama peningkatan skor Indonesia adalah reformasi
di Departemen Keuangan serta pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi.
Wakil Ketua KPK Haryono Umar berpendapat bahwa upaya
pemberantasan korupsi akan lebih cepat apabila semua lembaga pemerintahan
menerapkan reformasi seperti yang dilakukan Sri Mulyani di Kemenkeu. Sejak
menduduki jabatan Menteri Keuangan, Sri Mulyani sudah memberikan sanksi kepada
sekitar 1,961 pegawai (sampai dengan Agustus 2009), di mana hampir setengahnya
terkait dengan tindakan korupsi.
Mencegah Munculnya “Gayus” yang Lain Di tengah appresiasi
pihak dalam dan luar negeri atas upaya reformasi birokrasi di Kemenkeu, kasus
Gayus menunjukkan bahwa masih ada celah-celah yang dapat dimanfaatkan
untuk melakukan tindakan korupsi. Celah-celah ini tentunya tidak dapat ditutupi
hanya dengan cara pencabutan renumerasi.
Pencabutan renumerasi ini justru dapat menimbulkan dampak yang
kontraproduktif. Antara lain menyediakan justifikasi bagi aparat yang “nakal”
untuk korupsi serta membuka jalan kepada aparat yang “jujur” untuk keluar dari
PNS.
Mengacu pada riset Donald Cressey (1950) tentang faktor-faktor
yang berkontribusi
terhadap fraud terdapat tiga faktor utama yang harus ditangkal untuk memitigasi
risiko fraud. Yaitu adanya motif/ tekanan (pressure), peluang (opportunity),
dan pembenaran (rationalization). Pencabutan renumerasi atau menggaji aparat
dengan murah sama saja dengan menyediakan motif sekaligus pembenaran untuk
melakukan korupsi.
Kembali kepada kisah aparat pajak yang disinggung di awal
tulisan, walaupun tidak
ada data empirisnya, sebelum reformasi birokrasi dijalankan, sangat mudah
ditemui pegawai Kemenkeu, terutama “Anak STAN”, yang mengundurkan diri sebagai
PNS. Alasan utama meraka adalah lingkungan kerja yang tidak “kondusif”. Pada
umumnya mereka ini adalah orang-orang yang punya integritas yang tinggi dan
kemampuan yang mumpuni.
Dengan modal seperti itu, orang-orang relatif mudah
mendapatkan pekerjaan di tempat lain dengan gaji yang lebih memadai. Eksodus
PNS ini sempat menimbulkan kekhawatiran apabila para aparat “jujur” ini keluar
semua, maka yang tinggal kemungkinan adalah aparat yang “nakal” atau “tidak
laku” di tempat lain. Apa kata dunia?
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pencabutan
renumerasi bukanlah jawaban yang tepat untuk mencegah munculnya “Gayus” yang
lain. Pembenahan proses bisnis, sistem pengawasan, peningkatan mutu SDM, serta
penerapan reward and punishment yang lebih tegas adalah langkah yang jauh lebih
efektif.
Kasus Gayus harus dijadikan cambuk bagi jajaran Kementerian
Keuangan untuk memperbaiki implementasi reformasi birokrasi. Serta merangkul
kembali kepercayaan masyarakat.
sumber : http://suarapembaca.detik.com/read/2010/04/14/181602/1338392/471/efektivitas-peningkatan-renumerasi-di-kementerian-keuangan
0 komentar:
Posting Komentar